Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei lalu AJI menyigi data suram: kekerasan terhadap para wartawan meningkat, dengan pelaku terbanyak polisi.
tirto.id – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai kebebasan pers pada 2020-2021 memburuk. Hal tersebut ditandai dengan naiknya angka kekerasan terhadap mereka. Kasus yang tercatat sebanyak 90, sementara sebelumnya hanya 57, bahkan terbanyak dalam 10 tahun terakhir. Paparan ini dikemukakan saat Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) pada 3 Mei lalu.
Sebanyak 28 kasus terkait intimidasi, lalu 22 kasus terkait perusakan alat dan atau hasil liputan, kekerasan fisik 19 kasus, teror 9 kasus, pelarangan pemberitaan 2 kasus, pelarangan liputan 3 kasus, dan kriminalisasi 6 kasus.
Polisi menjadi pelaku terbanyak dengan 58 kasus, TNI 5 kasus, warga 7 kasus, tidak dikenal 10 kasus, dan pemerintah 4 kasus.
Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung menyebutkan dua contoh kasus. Pertama vonis terhadap Diananta Putera Sumedi dan kedua kasus jurnalis Tempo Nurhadi. Diananta, sebelumnya Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, divonis penjara tiga bulan 15 hari karena artikel yang dia tulis terkait sengketa tanah antara warga dan perusahaan malah dianggap melanggar UU ITE.
Sementara Nurhadi dianiaya saat mengejar keterangan narasumber. Kepalanya ditutup bahkan diancam dibuang ke laut. Ia telah melaporkan ke pihak berwajib dan perkara sudah naik ke tahap penyidikan, namun “belum ada progres dari penanganan kasus,” ujar Erick dalam konferensi pers, Senin (3/5/2021).
Kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi dalam ruang daring. Data AJI Indonesia periode Mei 2020-Mei 2021 mencatat 14 kasus serangan digital. Korbannya 10 jurnalis dan empat media. Serangan digital berbentuk doxing, peretasan akun media sosial, peretasan situs media—Tirto mengalaminya bersama dengan Tempo pada 21 Agustus 2020.
“Dari 14 kasus serangan digital, tiga telah dilaporkan ke kepolisian. Tapi hingga sekarang belum ada tersangka yang ditetapkan,” imbuh Erick.