Jakarta – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah bergulir saat ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan berbagai pihak. Banyak yang melihat bahwa perubahan ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI. Hal ini terkait dengan rencana untuk memperluas jabatan kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI, yang kini mencakup 16 kementerian/lembaga, dari sebelumnya hanya 10. Banyak yang memandang ini sebagai tanda kembalinya dominasi militer dalam struktur pemerintahan, sebuah isu yang sangat sensitif mengingat sejarah panjang dwifungsi ABRI.
Apa Itu Dwifungsi TNI?
Dwifungsi TNI adalah sebuah konsep yang mengatur peran ganda Tentara Nasional Indonesia dalam tatanan kehidupan bernegara. Pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI, yang kala itu mencakup Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian, merujuk pada dua peran besar yang dimiliki ABRI: sebagai kekuatan militer dan sebagai pemegang kekuasaan politik. Konsep ini mengizinkan ABRI untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, selain menjalankan tugas pertahanan dan keamanan negara.
Sejarah dwifungsi ABRI bermula pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh AH Nasution, seorang perwira tinggi TNI, yang menyebutnya sebagai “konsep jalan tengah.” Konsep ini menginginkan militer tidak hanya bertugas sebagai penjaga keamanan, tetapi juga ikut serta dalam menentukan arah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial negara.
Penerapan Dwifungsi pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, konsep dwifungsi ABRI mulai diterapkan secara sistematis. Pada 1982, dwifungsi ABRI akhirnya diresmikan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, yang memberi legitimasi hukum bagi peran ganda militer dalam pemerintahan. Dampak dari kebijakan ini sangat besar, terutama pada bidang sosial dan politik. Banyak perwira aktif ABRI yang ditempatkan di posisi-posisi penting dalam pemerintahan, baik di lembaga legislatif seperti DPR, MPR, dan DPD, maupun dalam eksekutif seperti bupati, gubernur, hingga menteri kabinet.
Keterlibatan TNI dalam struktur pemerintahan tidak hanya terbatas pada jabatan sipil, tetapi juga mencakup kontrol terhadap arah politik organisasi Golkar yang menjadi salah satu alat politik utama Orde Baru. Bahkan, pada puncak kejayaannya di tahun 1990-an, banyak anggota ABRI yang menjabat sebagai kepala daerah, duta besar, pimpinan perusahaan negara, hingga hakim dan menteri di kabinet Soeharto.
Namun, dominasi TNI dalam pemerintahan ini tidak tanpa dampak. Kekuasaan yang terpusat di tangan militer membuat sistem pemerintahan menjadi kurang transparan. Selain itu, praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh militer juga berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang seringkali disertai dengan kerusuhan dan ketegangan politik.
Reformasi dan Penghapusan Dwifungsi
Gerakan Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam sejarah dwifungsi ABRI. Sebagai bagian dari tuntutan reformasi, dwifungsi ABRI dihapuskan untuk mengakhiri peran militer dalam politik praktis. Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, TNI mulai dicabut dari jabatan-jabatan sipil yang sebelumnya mereka duduki. Proses penghapusan ini dilakukan secara bertahap, dengan sejumlah undang-undang yang membatasi peran TNI dalam pemerintahan.
Namun, hampir 27 tahun setelah reformasi, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI muncul kembali dengan adanya revisi UU TNI. Rencana untuk memperluas kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif TNI menjadi perhatian serius. Dalam draf revisi, jabatan yang bisa diduduki oleh prajurit aktif meningkat dari 10 menjadi 16, dengan penambahan kementerian dan lembaga seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menjelaskan bahwa penambahan BNPP ke dalam daftar kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh TNI aktif merupakan hasil pembahasan Panja RUU TNI pada 15 Maret 2025. Dalam revisi ini, prajurit TNI aktif tidak perlu mengundurkan diri dari kedinasan mereka jika mengisi posisi di kementerian atau lembaga tersebut.
Reaksi dan Kekhawatiran Masyarakat
Kebijakan ini memicu kekhawatiran bahwa militer akan kembali mendominasi sektor pemerintahan dan mengurangi ruang bagi peran warga sipil. Hal ini mengingat kembali sejarah masa lalu di mana dominasi ABRI dalam politik dan pemerintahan menyebabkan ketidaktransparanan dan pelanggaran HAM. Walaupun pembahasan revisi UU TNI masih berjalan, masyarakat dan berbagai pihak terus mengingatkan pentingnya menjaga agar militer tetap fokus pada tugas pokoknya sebagai penjaga keamanan negara, tanpa terlibat terlalu jauh dalam ranah politik dan pemerintahan.
Baca Juga : Tiga Anggota Kepolisian Tewas dalam Penggerebekan Judi Sabung Ayam di Lampung