Sertifikat vaksin Covid-19 dijadikan salah satu syarat untuk melakukan perjalanan dan memasuki fasilitas publik. Tepatkah kebijakan ini ? Bagaimana ilmuwan menanggapi hal ini?
Jakarta – (09/08/2021). Sejumlah daerah sudah menerapkan masyarakat untuk menunjukkan sertifikat vaksin di hotel, restoran, warteg, salon dan barbershop, destinasi wisata, hingga pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil, sepeda motor, bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat.
Dengan mewajibkan sertifikat vaksin Covid-19 untuk mengakses fasilitas publik, diharapkan herd immunity dapat segera tercapai. “Jadi nanti kalian pergi ke restoran enggak pakai ini (sertifikat), tolak. Belanja enggak pakai ini, tolak. Karena ini demi keselamatan kita semua,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, usai memantau pelaksanaan vaksinasi di Gedung Setda Sleman, baru-baru ini.
Namun, hingga saat ini baik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan epidemiolog belum merekomendasikan hal ini. Mengapa demikian?
Apa Kata WHO
Soal mandatory vaccine Dilansir dari laman WHO tentang Covid-19 and mandatory vaccination: Ethical considerations and caveats yang tayang pada 13 April 2021, disebutkan bahwa vaksin merupakan alat yang paling efektif untuk melindungi orang dari Covid-19. Oleh sebab itu, vaksinasi Covid-19 dilakukan di seluruh dunia.
WHO pun menyadari, banyak negara akan mewajibkan vaksin guna meningkatkan tingkat vaksinasi dan mencapai tujuan kesehatan masyarakat. Kebijakan tersebut dapat dibenarkan secara etis, karena mungkin penting untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. “Namun demikian, karena kebijakan yang mengamanatkan suatu tindakan atau perilaku mengganggu kebebasan dan otonomi individu, mereka harus berusaha untuk menyeimbangkan kesejahteraan komunal dengan kebebasan individu,” kata WHO dalam laman resminya.
Karenanya, WHO mengatakan pihaknya tidak memberikan posisi yang mendukung atau menentang vaksinasi Covid-19 wajib. Namun, WHO mengatakan ada beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah atau pembuat kebijakan.
Kata epidemiolog
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, masalah sertifikat vaksin sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah wabah di dunia. Dicky mengatakan, WHO memiliki apa yang disebut sebagai yellow card, sudah digunakan sejak 1969 sebagai persyaratan bagi para pelancong yang datang ke negara tertentu. Yellow card ini untuk menunjukkan apakah seseorang sudah divaksinasi yellow fever atau demam kuning, infeksi virus yang disebarkan nyamuk spesies tertentu.
Sebagai contoh lain, untuk masuk ke Pakistan dan Afganistan juga diharuskan sudah vaksin polio. “Jadi paspor vaksin atau sertifikat vaksin bukan hal baru. Namun saya bisa memahami bahwa sikap WHO belum merekomendasikan (sertifikat vaksin tersebut),” kata Dicky.
Dicky juga mengatakan, secara pribadi dia mendukung sikap WHO tersebut. Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa sertifikat vaksin untuk berkegiatan ini tidak direkomendasikan, antara lain: Pertama, belum ada bukti kuat vaksin bisa mencegah infeksi Hal yang harus dipahami, kata Dicky, hingga saat ini kita belum memiliki bukti kuat bahwa vaksin yang ada bisa mencegah penularan Covid-19.
“Orang yang sudah divaksin itu bukan berarti enggak bisa tertular virus,” kata Dicky memperingatkan. Kedua, masalah stok, suplai, akses terhadap vaksin Masalah kedua adalah terkait stok, suplai, dan akses terhadap vaksin yang belum merata. “Dan ini bisa menjadi potensi diskriminasi, ketidakadilan antar wilayah termasuk penduduk,” ungkapnya. Seperti diketahui, akses vaksin Indonesia saat ini adalah dari negara-negara lain dengan jumlah vaksin yang terbatas.
Dengan jumlah vaksin yang masih sedikit, tak heran jika di banyak daerah banyak orang mengaku sulit mendapat vaksin atau ketika sudah mendaftar kuotanya dengan cepat terisi. “Kecuali kalau cakupan minimal vaksin sudah 50 persen, ini menurut saya bisa menggunakan sertifikat vaksin,” imbuh dia.
Menurut Dicky, penerapan sertifikat vaksin untuk berkegiatan harus dilakukan dengan bijak dan bertahap. “Jika suatu provinsi mau memberlakukan sertifikat vaksin, semua kota/kabupaten hingga kecamatan cakupan vaksinnya sudah 50 persen itu bisa saja dilakukan,” sambungnya. “Tapi kalau belum, nantinya jadi tidak adil.”
Dia mengingatkan kembali, hal ini tidak direkomendasikan karena masih banyak orang yang belum divaksin dengan berbagai alasan. Bukan hanya karena orang tersebut tidak mau divaksin, tapi bisa juga karena persediaan vaksin yang sangat terbatas, sulit mendapat akses ke vaksin, atau karena kondisi tubuh. “Ini yang harus dipertimbangkan,” pungkasnya.
Kebijakan Terpusat
Senada dengan Dicky Budiman, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, Jawa Tengah belum mengambil kebijakan tersebut. “Belum, kita belum sampai ke sana,” kata Ganjar. Menurutnya, kelonggaran bagi masyarakat yang sudah divaksin untuk bepergian atau beraktivitas di tempat umum dirasa tidak adil bagi masyarakat yang belum divaksin.
“Kalau semua harus pakai syarat vaksin, sementara vaksinasi belum tinggi maka saya rasa itu enggak adil. Wong belum divaksin kok, yang divaksin masih sedikit, rasa-rasanya mereka yang sudah divaksin mendapat prioritas pertama untuk kelayapan (keluyuran). Kan enggak enak kita sama rakyat,” tegasnya.
Ganjar menjelaskan, masyarakat masih bisa beraktivitas di tempat umum tapi dengan pembatasan dan protokol kesehatan (prokes) ketat. Untuk itu, seluruh daerah diminta mempersiapkan diri karena leveling Jawa Tengah sudah turun. “Kalau itu mau dijadikan syarat sebenarnya kalau kita mau yang belum divaksin bisa saja dengan menerapkan prokes ketat. Kalau itu bisa dilakukan, jumlahnya dibatasi sejak pintu masuk dilakukan, sebenarnya kita bisa menyiapkan diri. Karena leveling sudah turun,” ujarnya.
Kendati demikian, pembukaan mal, tempat wisata, dan tempat publik lainnya masih menunggu keputusan evaluasi dari pemerintah pusat. “Tapi sekali lagi kita menyiapkan diri karena akan bergantung pada evaluasi keputusan pusat. Agar kita seragam nanti tidak mohon maaf sendiri-sendiri mengambil tindakan itu,” ungkapnya. (Saf)