Jakarta – Upaya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk mengatasi pelanggaran UU Proyek Satelit terhenti. Pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, khususnya PT Dini Nusa Kusuma (DNK) namun solusinya masih belum jelas.
“Karena sudah divonis (arbiter), mereka harus bayar. Tapi kalau bayar, berarti kita ditipu, jadi kita cek ke BPKP (Badan Pengawasan Keuangan) dan Pembangunan,” kata Mahfud dalam sebuah Crosscheck virtual dikutip dari Medcom.id. Percakapan bertajuk ‘Blakblakan Mahfud MD Bongkar Mafia di Kementerian Pertahanan’, Minggu, 16 Januari 2022.
Mahfud sudah membeberkan hasil pemeriksaan BPKP. Pertama, ada kesalahan saat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) menyerahkan proyek satelit ke Kementerian Pertahanan. Sebab, sebenarnya itu bukan proyek Kementerian Pertahanan.
“Kedua, (Kemenhan) salah mengartikan kontrak meskipun tidak memiliki anggaran,” jelasnya.
Baca juga : Menjaga Stabilitas Pemerintahan di Tahun Politik
Temuan lainnya, Kementerian Pertahanan menerima dua jenis barang dari Navayo dengan nilai USD 16 juta atau sekitar Rp 229 miliar dengan kurs Rp 14.314/USD. Barang pertama bisa diaudit dan ada kuitansinya, tapi nilai transaksinya hanya Rp 1,9 miliar dari total nilai kontrak $16 juta.
Sedangkan jenis barang yang kedua adalah barang yang tidak termasuk dalam kategori tersebut. Parahnya, tidak ada bukti pembelian dengan pajak di bea cukai.
“Guyonanya barang seperti ini bisa dibeli di Glodok. Kata-kata ini datang dari auditor,” jelas Mahfud.
Berdasarkan temuan tersebut, kata Mahfud, pemerintah Indonesia memperjuangkan kasus tersebut melalui arbitrase. Indonesia dapat menolak untuk membayar karena ada tindak pidana melanggar hukum.
“Karena kontraknya salah, ada kecurangan dan ada pelanggaran hukum,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Baca Juga : Bahlil Lahadahli Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV Capai 5 Persen