Jakarta –
Sebagian netizen marah menanggapi hasil studi Microsoft tentang Digital Civility Index (DCI) menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
Penilaian itu nyatanya sangat berbeda dengan keyakinan sebagian netizen di Indonesia. Dan memang, keyakinan sulit dikoreksi oleh penelitian apa pun, utamanya sejak marak pencitraan dan penggunaan internet dalam kampanye pada pemilihan langsung.
Jika kakek nenek kita dulu fans kemerdekaan yang tergambar dalam tekad “merdeka atau mati”, maka sebagian dari generasi kita telah berubah menjadi fans-fans tokoh, bukan fans kepentingan nasional.
Kembali ke kata “sopan” yang dibahas survei DCI, umumnya netizen meyakini orang Indonesia itu sopan. Sering kita mendengar bahwa sebagai orang timur, kita menjunjung adat istiadat, tata krama, dan sopan santun.
Hal ini dicontohkan misalnya dengan mencium tangan orang yang lebih tua, tidak berpelukan apalagi berciuman di depan umum, berpakaian tertutup, menggunakan sebutan yang terhormat, pak, ibu, mas, mbak dan lain-lain saat menulis, berbicara, berpidato, dan lain-lain.
Kita juga mengenal kebiasaan saling menyapa, menunduk kepala tanda hormat, saling mengirim makanan antar tetangga, suka menolong dan karakter positif lainnya.
Keyakinan itu tidak salah. Nyatanya, memang ada survei yang menyebut orang Indonesia paling murah senyum (The Smiling Report), orang Indonesia paling religius (Survei Gallup dan Abt Associate 2019, yang dirilis Pew Research Center.
Bahkan survei Charities Aid Foundation (CAF) tahun 2018 menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara yang paling murah hati di dunia dari 146 negara.
Sampelnya juga tidak main-main, 150 ribu orang dari 146 negara. Kesimpulan survei itu, 78% orang Indonesia senang mendonasikan hartanya pada orang lain, dan 53% penduduk Indonesia gemar menjadi relawan alias bekerja tanpa dibayar, meluangkan waktu untuk banyak pertemuan sosial, gotong royong, dan lain-lain.
Jadi wajar jika sebagian dari kita tidak terima dengan hasil survei Microsoft. Maka, sangat penting agar mata kita tidak berhenti pada judul pemberitaan, namun membaca hingga ujung isi berita, kalau perlu kita cari sumber primernya.
Pemerintah juga sebaiknya tidak perlu buru-buru menyalahkan masyarakat sebelum mengevaluasi berbagai kebijakan dan aturan, rasa keadilan, dan lain-lain.
Dari berbagai survei di atas, dapat lahir hipotesis bahwa sebenarnya orang Indonesia itu baik, namun keadaan yang membuat mereka kurang baik, atau ketidakadilan yang membuat mereka berubah menjadi buruk.
Baiklah, ada beberapa alasan Microsoft menyebut pengguna internet Indonesia tidak sopan. Pertama, meningkatnya hoax dan penipuan online hingga 13 poin, bertambahnya ujaran kebencian sebanyak lima poin. Yang menggembirakan mungkin hanya diskriminasi yang berkurang dua poin dari tahun sebelumnya.
Di Indonesia, yang paling populer berdasarkan Data Direktorat Cyber Crime Bareskrim Polri adalah penipuan online. Penipuan online masuk kategori kejahatan internet dan pelakunya bisa disebut penjahat.
Jadi penyebutan “tidak sopan” dalam DCI sebenarnya lebih halus. Bayangkan kalau ada yang menyebut netizen Indonesia paling jahat di Asia Tenggara?
Saya merasakan selama lima tahun terakhir, pernyataan tokoh dan literasi di masyarakat jarang sekali mengingatkan kewaspadaan terhadap penipuan online. Yang banyak hanya sebatas mengingatkan agar jangan menyebar hoax, utamanya terkait politik, dan di 2020 kemarin ditambahkan: jangan menyebar hoax terkait isu kesehatan seperti COVID-19, virus Corona, dan lain-lain.
Dulu, maling mendatangi rumah kita, mencongkel pintu, membuka tempat penyimpanan uang serta barang berharga lainnya. Sekarang, maling bisa mencuri uang kita dari jarak jauh, begitu kira-kira contoh untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap online.
Ke depan, inilah yang perlu digalakkan. Apalagi berdasrkan survei literasi dan inklusi keuangan Indonesia yang dilakukan OJK pada 2019, menyebutkan bahwa kewaspadaan konsumen terhadap kejahatan elektronik relatif rendah, yaitu 36,2%.
Kemudian, kita juga perlu terus meningkatkan kapasitas aparat dalam mendeteksi, mencegah potensi penipuan online serta lebih menghidupkan partisipasi masyarakat dalam memberantasnya.
Hoax juga demikian, berdasarkan beberapa survei, dan pengamatan di media sosial, saya menyimpulkan bahwa kebanyakan kita, apapun latar belakang pendidikannya bahkan meski sudah S3, belum mampu mendeteksi hoax. Penyebarnya setidaknya dua: mereka yang sengaja menyebarkan hoax dan mereka yang tidak tahu bahwa yang mereka sebarkan adalah hoax.
Dalam pencegahan para tokoh, pejabat publik juga lebih sering mengatakan “jangan menyebar hoax” ketimbang “jangan membuat hoax”. Padahal, pembuat adalah dalang sedangkan penyebar terkadang adalah korban karena ketidaktahuan.
Jadi, tahun ini sebaiknya literasi terkait penipuan online lebih digalakkan. Dalam hitungan saya, ini potensial lebih diminati publik karena kerugiannya dirasakan langsung oleh masing-masing pribadi. Strateginya, jadikan literasi terkait penipuan online sebagai pintu masuk untuk mencegah hoax, dikriminasi, rasis, dan lain-lain.
Seburuk apapun hasil survei, kita tak perlu khawatir, tentunya dengan catatan selama tahapan-tahapan menuju pemberantasan hoax, penipuan online, ujaran kebencian, diskriminasi berjalan dengan baik. Sebaliknya, kita perlu khawatir jika masih menemukan SMS percobaan penipuan, serta ketidakadilan hukum terhadap pelaku hoax, diskriminasi dan rasis terjadi di depan mata.
* Hariqo Wibawa Satria adalah penulis buku “Seni Mengelola Tim Media Sosial untuk Organisasi” dan pengamat media sosial dari Komunikonten.
Simak Video “Microsoft Trending Gegara Riset Netizen Indonesia Tidak Sopan“
[Gambas:Video 20detik]
(rns/rns)