Jakarta – Polda Metro Jaya telah menetapkan enam orang admin media sosial sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan yang menyebabkan kericuhan saat demonstrasi di Jakarta. Aksi yang berujung anarkis ini, terutama yang terjadi pada 25 dan 28 Agustus 2025, disebut-sebut banyak melibatkan pelajar dan anak di bawah umur. Lantas, siapakah keenam admin medsos tersebut dan bagaimana peran mereka dalam memicu kerusuhan?
Identitas dan Latar Belakang Para Tersangka
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, keenam tersangka diidentifikasi dengan inisial dan afiliasi akun media sosial mereka:
- DMR (Delpedro Marhaen): Direktur Eksekutif Lokataru Foundation yang juga admin akun Instagram
@lokataru_foundation
. - MS (Muzafar Salim): Staf Lokataru dan admin akun Instagram
@blokpolitikpelajar
. - SH: Admin akun Instagram
@gejayanmemanggil
. - KA: Admin akun Instagram
@AliansiMahasiswaPenggugat
. - RAP: Admin akun Instagram dengan inisial yang sama.
- FL: Admin akun TikTok
@fighaaaaa
.
Peran Kunci dalam Dugaan Penghasutan
Polisi mengungkapkan bahwa para tersangka memiliki peran spesifik dan terkoordinasi dalam menghasut massa. Peran mereka meliputi:
- Kolaborasi dan Ajakan Massa: DMR dan MS diduga berkolaborasi dengan akun-akun Instagram lainnya untuk menyebarkan ajakan provokatif agar pelajar tidak takut turun ke jalan dan melawan bersama.
- Mengajak Aksi Perusakan: Tersangka SH dan KA juga dituduh menghasut masyarakat untuk melakukan perusakan.
- Penyebar Tutorial dan Koordinator Logistik: RAP memiliki peran yang sangat berbahaya, yaitu menyebarkan tutorial pembuatan bom molotov melalui akun Instagramnya. Ia juga diduga bertindak sebagai koordinator kurir bom molotov di lapangan.
- Mobilisasi Melalui Live Streaming: FL, melalui akun TikTok-nya, menyiarkan siaran langsung (live) yang mengajak pelajar untuk turun ke jalan pada 25 Agustus 2025. Salah satu siaran langsungnya bahkan ditonton oleh jutaan orang, yang dinilai menjadi pemicu datangnya anak-anak ke lokasi demonstrasi.
Penetapan enam admin medsos sebagai tersangka ini menjadi bukti nyata bahwa media sosial dapat menjadi alat yang kuat, tidak hanya untuk menyebarkan informasi, tetapi juga untuk memobilisasi massa secara masif, bahkan untuk tujuan anarkis. Kasus ini menyoroti pentingnya literasi digital dan pengawasan terhadap konten-konten yang berpotensi memicu kerusuhan, terutama di kalangan remaja dan pelajar yang rentan terhasut.