Jakarta — Organisasi Masyarakat Pemuda Tri Karya (PETIR) mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan keterlibatan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), serta Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam insiden tragis yang merenggut nyawa dua anak di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Keduanya ditemukan meninggal dunia di area kolam bekas lokasi pemboran minyak, yang diduga mengandung limbah tanah terkontaminasi minyak (TTM) dan bahan berbahaya beracun (B3). PETIR menilai lokasi tersebut merupakan bagian dari warisan limbah yang belum dipulihkan secara menyeluruh pasca alih kelola Blok Rokan dari CPI ke PHR pada 9 Agustus 2021.
“Ini bukan sekadar kasus kelalaian. Kami meminta aparat hukum menyelidiki, apakah itu limbah warisan CPI yang gagal dipulihkan atau limbah baru dari aktivitas PHR. Status limbah itu menentukan arah tanggung jawab pidana dan perdata,” ujar Ketua Umum PETIR, Jackson Sihombing, kepada Riau Satu, Senin (2/6).
Jackson merujuk pada dokumen Head of Agreement (HoA) antara CPI dan SKK Migas yang ditandatangani pada 28 September 2020. Dalam dokumen tersebut tercantum bahwa seluruh sisa limbah B3 dan tanah terkontaminasi minyak yang belum ditangani sebelum serah terima menjadi tanggung jawab SKK Migas dan operator baru, dengan pendanaan melalui skema cost recovery.
CPI disebut telah menyetor dana sebesar USD 260 juta (sekitar Rp4,2 triliun) ke rekening SKK Migas untuk keperluan pemulihan lingkungan di Wilayah Kerja (WK) Rokan. Namun, kebutuhan dana pemulihan ditaksir mencapai lebih dari USD 600 juta (sekitar Rp9,7 triliun), sehingga kekurangannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Hingga saat ini, belum terlihat satu pun kegiatan nyata dari tiga konsorsium pemulihan lingkungan yang ditunjuk SKK Migas,” tegas Jackson. Menurutnya, pemulihan TTM semestinya telah dimulai sejak 2022.
Sumber internal Kementerian ESDM yang enggan disebutkan namanya membenarkan bahwa proses tender pemulihan dilakukan dengan tergesa-gesa pada akhir 2021 karena tekanan politik. Namun, pelaksanaan di lapangan tersendat akibat persoalan administratif dan ketidakjelasan lokasi pembersihan.
PETIR juga menyoroti dugaan ketidakterbukaan dalam proses penunjukan tiga konsorsium yang ditugaskan untuk menangani proyek pemulihan tersebut. Jackson menyebut, proyek bernilai triliunan rupiah ini rawan disusupi praktik kolusi.
“Proyek pemulihan TTM B3 di WK Rokan bernilai Rp9,7 triliun. Jika tidak ada transparansi, sangat mungkin dana lingkungan itu menjadi bancakan elite,” ujarnya.
PETIR menyerukan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek pemulihan limbah. Selain itu, mereka juga meminta perhatian Luhut Binsar Pandjaitan, yang turut hadir saat penandatanganan HoA pada 2020 bersama Menteri ESDM saat itu Arifin Tasrif, Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dan Dirjen KLHK Rosa Vivien Ratnawati.
PHR Akui Baru 5 Persen Pemulihan
Menanggapi pertanyaan Riau Satu terkait sejauh mana progres pemulihan limbah TTM B3 sejak alih kelola dari CPI, Corporate Secretary PT PHR, Eviyanti Rofraida, menyatakan bahwa hingga akhir April 2025, perusahaan baru menyelesaikan pembersihan di sembilan lokasi atau sekitar 5 persen dari total warisan limbah.
“Kami menerima penugasan pembersihan TTM yang merupakan peninggalan operator sebelumnya. Kami diberi penugasan dengan roadmap selesai 2030. Saat ini selesai sembilan lokasi yang kami kerjakan sendiri,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Eviyanti menegaskan bahwa proses pembersihan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan senantiasa dikoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca Juga : Panglima TNI Mutasi 117 Perwira Tinggi, Sejumlah Jabatan Strategis Berganti