JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menyiapkan enam paket insentif ekonomi yang akan digelontorkan mulai bulan depan untuk mengerek daya beli masyarakat dan menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, rangkaian bantuan ini diharapkan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berada di kisaran 5 persen.
“Kami berharap stimulus ini bisa memperkuat konsumsi masyarakat sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Airlangga dalam pernyataan resminya.
Berikut rincian enam insentif yang akan diluncurkan:
-
Diskon Transportasi
Berlaku selama libur sekolah pada Juni–Juli 2025 untuk moda angkutan laut, kereta api, dan pesawat terbang. -
Potongan Tarif Tol
Ditujukan untuk 110 juta pengguna jalan tol selama periode tertentu. -
Diskon Tarif Listrik 50 Persen
Diberikan kepada 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik di bawah 1.300 VA selama Juni–Juli 2025. -
Tambahan Bantuan Sosial
Pemerintah akan menambah alokasi kartu sembako dan bantuan pangan bagi 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). -
Bantuan Subsidi Upah (BSU)
Menyasar pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan, serupa dengan program yang pernah dijalankan saat pandemi COVID-19. -
Diskon Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Diperpanjang untuk buruh di sektor padat karya guna menekan beban iuran ketenagakerjaan.
Langkah ini ditempuh pemerintah menyusul pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencatat 4,87 persen pada kuartal I-2025, di bawah ekspektasi.
Respons Ekonom: Insentif Bagus, tapi Tak Cukup
Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai paket insentif ini cukup baik untuk mengatasi perlambatan konsumsi. Menurutnya, diskon transportasi sangat penting di tengah lesunya sektor pariwisata akibat pemangkasan belanja pemerintah.
“Untuk perjalanan dinas pengaruhnya besar, apalagi transportasi dan pariwisata. Ini bisa mendorong aktivitas sektor tersebut,” ujar Ronny.
Namun, ia menilai seluruh stimulus bersifat sementara dan belum menyentuh akar persoalan ekonomi. “Kalau masyarakat tidak punya pekerjaan, ya kondisinya akan kembali seperti semula setelah insentif dihentikan,” tegasnya.
Menurut Ronny, solusi jangka panjang yang lebih efektif adalah peningkatan investasi, karena akan menciptakan lapangan kerja dan secara otomatis menjaga daya beli masyarakat tanpa bantuan langsung.
“Investasi membuka lapangan kerja, orang punya penghasilan, lalu daya beli naik. Itu yang akan mendongkrak konsumsi rumah tangga secara berkelanjutan,” katanya.
Butuh Deregulasi dan Pemberantasan Rente
Hal senada disampaikan Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Riefky. Ia menyebut stimulus yang disiapkan pemerintah memang bermanfaat, tetapi belum menyasar isu utama: rendahnya investasi.
“Stimulus ini oke, tapi yang paling penting itu kebijakan yang mendorong peningkatan investasi,” ujarnya.
Riefky menggarisbawahi dua hal utama yang perlu dilakukan pemerintah agar iklim investasi lebih kondusif: deregulasi dan pemberantasan praktik rente.
Ia menyoroti belum adanya kemajuan signifikan terkait deregulasi investasi, meski pemerintah sempat menyatakan komitmen tersebut dalam forum Sarasehan Ekonomi.
“Belum terlihat tindak lanjut konkret soal deregulasi,” jelasnya.
Selain itu, praktik perburuan rente seperti premanisme dan intervensi ormas dalam proyek-proyek investasi juga menjadi hambatan besar.
“Ini membuat banyak investor enggan menanamkan modal karena risiko non-ekonomisnya tinggi,” tambahnya.
Riefky menekankan bahwa upaya pemberian insentif harus dibarengi dengan pembenahan struktural dalam sistem perizinan, birokrasi, dan jaminan hukum agar investasi bisa tumbuh dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
“Kalau lapangan kerja bertambah dan masyarakat punya penghasilan tetap, maka konsumsi akan meningkat tanpa perlu terus bergantung pada stimulus,” pungkasnya.
Baca Juga : Menkop UKM Bantah Isu Gaji Pengurus Kopdes Merah Putih Rp8 Juta per Bulan