Ihwal kebijakan publik yang diambil pemerintah soal keharusan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bagi para penumpang pesawat udara, menjadi polemik. Pemerintah dituding melindungi sekelompok pebisnis. Benarkah ?
Jakarta — Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan hal ini menuai kontroversi, serta membuka persoalan yang lebih luas lagi dalam penanganan pandemi COVID-19.
“Saya kira juga tidak masuk akal gitu ya, alasan di balik keharusan untuk tes PCR bagi para penumpang pesawat ini. Karena seolah-olah menafikan program vaksin yang sedang digencarkan Pemerintah,” katanya, melalui Zoom dalam diskusi bertajuk “Bisnis Di Balik Pandemi” yang disiarkan langsung lewat YouTube Narasi Institute pada Jumat sore, (29/10).
Namun lebih dari itu, kata Fadhil, juga menguak suatu tabir tentang ada apa di balik kebijakan ini. Di sisi lain, ia juga terkaget-kaget dengan penurunan harga tes PCR ini yang sangat tajam. Fadhil menuturkan di awal pandemi virus corona harga tes PCR sempat menyentuh angka sekitar Rp 2 juta. Kemudian turun menjadi sekitar Rp900 ribu dan turun lagi menjadi sekitar Rp 450 ribu.
Kini, harganya sudah di angka Rp 275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali dan Rp 300 ribu untuk luar Jawa-Bali, dan bahkan Lion Air Group memiliki penawaran harga hanya sebesar Rp195 ribu untuk khusus wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Nah, ini juga saya kira menimbulkan pertanyaan terkait bisnis di balik pandemi ini ya kan,” ungkapnya.
Menurut Fadhil, pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan yaitu seperti sebenarnya berapa besar biaya ongkos daripada tes PCR ini, bagaimana harga itu bisa turun secara bertahap, siapa yang menentukan harga tersebut, bagaimana mekanismenya, dan berapa rente yang mereka peroleh.
“Publik juga ingin mengetahui siapa saja pemain daripada bisnis ini. Ya jadi ini suatu kebijakan publik yang dilakukan secara tidak transparan dan akuntabel ya, dan tanpa ada suatu kontrol yang memadai untuk publik,” ujarnya.
“Padahal ini merupakan hal yang menyangkut dengan kepentingan dan kesehatan publik secara keseluruhan,” kata Fadhil.
Keadaan ini wajar kalau mengundang kecurigaan berbagai pihak. Dari berbagai sumber coba disarikan informasi yang melatar belakangi masalah ini, utamanya soal pengadaan alat test PCR dari oleh berbagai importir.
Importir Dadakan
Pandemi COVID-19 ternyata menciptakan importir alat kesehatan dadakan. Dari mulai Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Yayasan Bunda Tzu Chi Indonesia, perusahaan kosmetika, pabrik tekstil hingga produsen ketel uap mendadak jadi importir alat kesehatan, termasuk alat tes PCR dan Rapid Test. Tak hanya itu, Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan juga ikut-ikutan menjadi importir.
Hingga Juli 2021, BNPB mengimpor alat kesehatan, termasuk PCR dan Rapid Test, senilai US$68,6 juta atau setara Rp. 994,7 miliar (US$1 = Rp. 14.500) dengan menguasai 6,29% dari total impor. Sedangkan PT Jenny Cosmetics mengimpor US$43,6 juta (4%), Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia US$21,07 juta (1,93%), perusahaan tekstil PT Pan Brothers US$21,07 juta (1,93%), produsen ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi US$20,8 juta (1,91%), dan Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan US$18,7 juta (1,72%).
Sepanjang Januari – Agustus 2021 impor alat tes PCR tercatat sebanyak 203 ton senilai Rp. 453 miliar. Sepertiganya (30%) diimpor dari Cina. Bahkan hingga 23 Oktober 2021, impor alat tes PCR telah mencapai Rp. 2,7 triliun.
Sepanjang Januari – Agustus 2021 juga diimpor pereaksi kimia reagent sebanyak 4.315 ton senilai Rp. 7,3 triliun. Lagi-lagi sepertiganya (30%) didatangkan dari Cina.
Boleh jadi, besarnya stok alat tes PCR dan alat kesehatan yang terlanjur diimpor inilah yang menyebabkan pemenrintah mewajibkan tes PCR kepada seluruh pelancong pengguna pesawat terbang. Benarkah demikian. Masih kita tunggu perkembangan berikutnya.
Sumber data: IDN Times, Kabar24, Bisnis.com – diolah