Jakarta, Jurnalismeinvestigatif.com – Kasus korupsi di Indonesia seolah tak pernah surut. Dari tahun ke tahun, pemberitaan mengenai penangkapan pejabat publik karena korupsi terus menghiasi layar media. Padahal, para pelaku umumnya berasal dari kalangan elite, memiliki jabatan tinggi dan penghasilan yang terbilang besar. Muncul pertanyaan, mengapa mereka masih tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan?
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui berbagai teori yang mengupas motif dan penyebab seseorang melakukan korupsi. Salah satu yang dikenal luas adalah teori GONE yang dikemukakan oleh Jack Bologna. Teori ini menyebutkan bahwa tindakan korupsi terjadi karena empat faktor utama: Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan).
Menurut Bologna, keserakahan menjadi pemicu utama. Ketika seseorang tidak pernah merasa cukup, ditambah dengan adanya peluang serta gaya hidup konsumtif yang tidak seimbang dengan pemasukan, maka potensi korupsi semakin besar. Terlebih lagi, jika penegakan hukum terhadap koruptor tidak memberikan efek jera.
Faktor Internal dan Eksternal
Mengacu pada buku Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi, penyebab korupsi secara umum dibagi menjadi dua, yakni faktor internal (dari dalam diri pelaku) dan faktor eksternal (pengaruh dari lingkungan sekitar).
Faktor Internal:
-
Keserakahan
Sifat tamak membuat seseorang terus mengejar kekayaan tanpa batas, bahkan ketika ia sudah berada dalam posisi yang mapan. -
Gaya Hidup Konsumtif
Tuntutan hidup mewah, mengikuti tren barang-barang mahal, dapat mendorong seseorang untuk mencari pemasukan tambahan secara ilegal. -
Moral yang Lemah
Kurangnya integritas, keimanan, dan rasa malu sering kali menjadi alasan seseorang mudah tergoda melakukan korupsi.
Faktor Eksternal:
-
Aspek Sosial
Lingkungan sosial, terutama keluarga, terkadang justru mendorong korupsi demi mempertahankan status atau memenuhi keinginan gaya hidup. Robert Merton dalam means-ends scheme-nya menjelaskan bahwa tekanan sosial terhadap pencapaian ekonomi tanpa dibarengi dengan akses yang setara dapat memicu pelanggaran norma.Edward Banfield juga menambahkan dalam teori partikularisme bahwa tekanan dari keluarga atau kelompok dekat sering kali menjadi alasan seseorang melakukan korupsi demi membantu orang terdekat.
-
Aspek Politik
Politik kerap dijadikan sarana memperkaya diri. Praktik money politics seperti jual beli suara atau dukungan partai menjadi sumber korupsi. Ketika kekuasaan diperoleh dengan ongkos politik tinggi, pejabat cenderung melakukan korupsi untuk “mengembalikan modal”. -
Aspek Hukum
Lemahnya sistem hukum juga menjadi lahan subur korupsi. Undang-undang yang multitafsir dan tidak transparan memberi celah bagi pelaku untuk mencari keuntungan pribadi. Hukuman yang ringan pun dinilai tidak memberikan efek jera. -
Aspek Ekonomi
Kendati sering dianggap sebagai faktor utama, kenyataannya banyak koruptor berasal dari kalangan mampu. Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kebijakan dibuat tidak partisipatif dan tidak akuntabel, menciptakan peluang korupsi dalam birokrasi. -
Aspek Organisasi
Organisasi tempat seseorang bekerja dapat mempengaruhi peluang korupsi. Budaya organisasi yang permisif terhadap pelanggaran, kurangnya pengawasan, serta ketiadaan teladan dari pimpinan memperkuat potensi tindak pidana tersebut.
Menurut Eko Handoyo dalam bukunya Pendidikan Antikorupsi, partai politik bahkan kerap menjadikan praktik korupsi sebagai sumber pembiayaan organisasi, terutama dalam proses pencalonan kepala daerah.
Teori Fraud Triangle
Teori lain yang relevan adalah Fraud Triangle yang dikembangkan oleh Donald R. Cressey. Berdasarkan wawancara dengan 250 narapidana kasus korupsi, Cressey menyimpulkan bahwa terdapat tiga unsur utama dalam proses terjadinya korupsi: pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi).
-
Tekanan dapat muncul dari masalah ekonomi atau kebutuhan pribadi. Bahkan, menurut Cressey, tekanan tersebut bisa bersifat psikologis atau hanya berupa anggapan saja.
-
Kesempatan hadir ketika sistem pengawasan lemah, memungkinkan pelaku untuk menyalahgunakan wewenang.
-
Rasionalisasi muncul saat pelaku membenarkan perbuatannya dengan berbagai alasan, misalnya karena merasa gaji tidak layak atau perusahaan tidak membagi keuntungan secara adil.
Penutup
Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum, melainkan juga dipicu oleh kombinasi faktor personal, sosial, politik, hukum, hingga sistem organisasi. Pencegahan korupsi memerlukan pendekatan komprehensif, termasuk reformasi struktural dan penguatan budaya integritas sejak dini.
Baca Juga : OCCRP Rilis Daftar Tokoh Finalis Perusak Dunia 2024, Jokowi Termasuk di Dalamnya