JurnalismeInvestigatif – Jakarta – Ada 2 isu penting yang perlu mendapat perhatian, yakni: (1) kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang diprediksi berlangsung hingga akhir tahun, dan (2) meningkatkan gejolak politik terkait pilpres 2024. Kedua hal tersebut berpotensi melahirkan gangguan kamtibmas.
Kedua isu tersebut, secara pemberitaan memang tidak terlalu viral dibandingkan isu-isu yang penuh gimmick seperti pemanggilan Nikita Mirzani oleh Polresta Serang Kota, penolakan sejumlah warga Jonggol terhadap UAS, Pelaporan Roy Suryo karena memposting meme stupa Candi Borobudur, dan KPK panggil mantan Sesmenpora terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi Formula E. Namun dampaknya akan meluas dan panjang.
Baca Juga : Pertumbuhan ekonomi pada 2023 dihantui ancaman stagflasi
Harga Komoditas Pangan Makin Menggila
Sejumlah harga komoditas pangan terpantau melonjak diluar batas kewajaran. Dari laporan media, kebutuhan pokok yang meroket antara lain: cabe merah, gula pasir, cabe rawit merah, daging sapi, dan kacang kedelai. Minyak goreng yang sepekan lalu melandai kembali melonjak hingga mencapai 26 ribu/ liter. Jauh diatas HPH yang dipatok Rp 14.000/ liter.
Pemerintah lagi-lagi kewalahan mengendalikan harga pangan. Sejumlah faktor dituding sebagai penyebabnya, yakni: terganggunya distribusi dari hulu ke hilir, ketergantungan impor bahan baku dan ketidak pastian ekonomi global, dan praktik usaha tidak sehat yang dilakukan oleh sejumlah spekulan sehingga harga terus bergejolak tanpa kepastian.
Gejolak harga pangan umumnya melahirkan kejahatan pangan antara lain:
- Penimbunan
- Penyelundupan
- Penggelapan pajak
- Transfer pricing
- Penjualan produk tidak berkualitas dan berbahaya (oplosan)
- Dan lain-lain
Baca Juga : 10 Negara dengan Sistem Pendidikan Terburuk di Dunia, Apa Indonesia Termasuk?
Gejolak Politik Jelang Pemilu 2024
Narasi-narasi yang berbau fitnah dan berita bohong atau hoax sudah mulai bermunculan dengan target mendegradasi kepercayaan publik terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Secara demografis targetnya adalah kaum milenial yang merupakan mayoritas oemilih pada pemilihan serentak 2024 mendatang.
Kaum milenial ini belum mengalami proses demokrasi yang berjalan sebelumnya. Kelompok inilah yang rawan terpolarisasi akibat kabar-kabar yang tidak benar yang umumnya dirilis di media digital.
Upaya literasi saat ini gencar dilakukan oleh berbagai kalangan. Misalnya Bawaslu, KPU, kelompok jurnalis anti hoax dan kalangan Polri.
Dari content yang beredar di media sosial. Umumnya personil cyber army terafiliasi dengan simpatisan partai baru, partai berbasis buruh dan kelompok 212, HTI dan kelompok radikal lainnya.
Target kelompok ini adalah:
- Mengubah masa kampanye singkat 75 hari menjadi lebih panjang
- Pengukuhan eksistensi dan mencari “inang” baru dari sejumlah kekuatan politik yang ada saat ini.
- Mendorong agar salah satu elitnya agar terlibat dalam kontestasi, baik lokal maupun nasional.
Baca Juga : Tidak Sekedar Populer, Capres Pilpres 2024 Harus Berkualitas
Penulis : Tian Bahtiar
Editor : Dian Purwanto