Site icon jurnalismeinvestigatif.com

Menjaga Stabilitas Pemerintahan di Tahun Politik 

Menjaga Stabilitas Pemerintahan di Tahun Politik 

Menjaga Stabilitas Pemerintahan di Tahun Politik 

Jakarta – Tahun 2022 merupakan tahun tahapan awal dimulainya fase pemilihan umum (pemilu) 2024. Menjaga stabilitas pemerintahan di tengah rumitnya persiapan perayaan akbar demokrasi juga merupakan tantangan. Ini tidak mudah.

Meski baru akan digelar pada 2024, pemilu pertama sebenarnya akan digelar setidaknya 20 bulan sebelumnya. Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat telah mengusulkan untuk memulai tahap lain dalam waktu sekitar 30 bulan.

Seperti halnya pemilihan umum ini, kami berharap ini akan memberi Anda cukup waktu untuk membuat semua persiapan yang diperlukan untuk menghindari kesalahan atau kekurangan.

Namun, belum ada keputusan yang diambil tentang pemilihan umum yang akan datang pada akhir tahun ini. Perdebatan sengit antara penyelenggara, pemerintah, dan legislatif tampaknya tidak menemukan jalan tengah. Menurut laporan, diskusi tentang jadwal pemilihan terus berlanjut dan diperkirakan akan diputuskan selama bekerja pada tahun 2022.

Penetapan jadwal pilkada menjadi perbincangan hangat dengan berbagai persoalan terkait penyelenggaraan pilkada sebelumnya yang harus diselesaikan.

Hal lain adalah bahwa dalam hal teknis, definisi jadwal akan menjadi pedoman utama untuk semua pengaturan.

Bahkan, jika seluruh proses pemilu berlangsung lebih dari 20 bulan, itu berarti 2022 benar-benar akan menjadi awal dari roda proses demokrasi.

Belum lama ini, beredar informasi tentang pemilihan umum 2024 yang direncanakan oleh KPU. Sesuai jadwal, ada beberapa milestone penting yang harus diselesaikan pada 2022.

Pelatihan awal yang diprakarsai secara khusus terutama berkaitan dengan proses pendaftaran partai politik sebagai calon. Mulai dari administrasi lain hingga proses pengecekan fakta serta penyelesaian sengketa keadilan.

Ketiadaan jadwal pemilu yang tetap hingga akhir tahun membuat banyak parpol khawatir tentang segala hal yang penting untuk dipersiapkan dengan baik.

Semua pihak jelas sepakat bahwa penyelenggaraan pemilihan umum serentak yang akan datang, termasuk pemilihan kepala daerah, akan memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.

Perdebatan dan pengambilan keputusan yang keras terkait dengan perwujudan demokrasi juga menunjukkan bahwa terkadang ada campur tangan yang kuat untuk memuaskan kepentingan yang beragam yang jauh dari cita-cita mewujudkan demokrasi yang adil.

Tidak dapat disangkal juga bahwa hal ini akan memicu gelombang pemilu skala besar yang dapat menghambat stabilitas seluruh pemerintahan.

Baca Juga: Tantangan Berat Pemilu 2024 di Depan Mata

Kinerja pemerintahan 

Pengalaman berdemokrasi bangsa ini telah banyak memberikan pelajaran bahwa proses pemilu akan memberikan banyak dampak pada kondusivitas bangsa hingga stabilitas berjalannya pemerintahan.

Besarnya gelombang euforia Pemilu akan menyita hampir seluruh energi berbagai elemen dan kepentingan untuk larut dalam urusan politik, bahkan termasuk hingga ke tingkat daerah.

Seperti masa-masa sebelumnya, memasuki masa tahapan pemilu merupakan momen yang tentunya menjadikan ritme berjalannya pemerintahan akan jauh lebih berbeda. Bercampurnya banyak kepentingan antara kerja profesional bagi pelayanan dan kepentingan publik dengan tujuan politik tentu akan sulit terhindarkan.

https://assetd.kompas.id/7I2r77IDry9ZknXr5fK4UEPwBGQ=/1024x793/https://kompas.id/wp-content/uploads/2022/01/20211228-H25-LHR-Partai-politik-mumed_1640711531-350x1440_1641152794.png

Hampir genap dua tahun sudah pandemi merajalela, yang notabene tak terpaut jauh dari waktu Presiden Joko Widodo menjabat periode keduanya. Ujian pandemi membuat banyak rencana dan program pemerintah harus disesuaikan kembali.

Realokasi anggaran, penundaan sejumlah proyek strategis, hingga mengerahkan berbagai elemen pemerintahan dalam kerja teknis penanganan Covid-19 menjadi hal yang lumrah terjadi beberapa waktu ke belakang.

Masa paruh periode kepemimpinan merupakan pada dasarnya akan menjadi tahun emas bagi pemerintah terpilih, di mana puncak dari pencapaian yang saat itu terealisasi dengan berbagai program pemerintah yang diupayakan telah dapat menuai hasil untuk dirasakan.

Tak mengherankan memang ketika memasuki tahun ketiga masa kepemimpinannya dulangan apresiasi publik melonjak signifikan. Setelah kemudian di akhir tahun periode jabatan, kondisinya kepuasan publik itu akan menunjukkan tren yang menurun akibat efek gejolak politik di masa pemilu dan transisi kekuasaan.

Kecenderungan tren kepuasan publik dalam menilai kinerja itu tergambar jelas dari hasil survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas secara berkala. Peningkatan apresiasi kinerja pemerintahan yang cukup signifikan (di atas 70 persen) terbaca pada tahun 2017, saat periode jabatan Presiden Joko Widodo memasuki separuh jalan kepemimpinannya.

Pada dua tahun sisa masa jabatan selanjutnya sampai mendekati transisi pergantian kepemimpinan atau penyelenggaraan pemilu, tren apresiasi terhadap kinerja pemerintah cenderung akan menurun.

Banyak pihak mengatakan, pada politik telah datang lebih awal, bahkan sejak awal Presiden Joko Widodo memulai kerja periode lanjutannya. Bursa calon presiden yang sangat terbuka bebas, seusai sosok Joko Widodo tak dapat lagi meneruskan kiprah kepemimpinannya tak lain menjadi satu penyebab utama yang membuat nuansa kompetitif itu terasa lebih awal dimulai.

Kini, dengan peliknya berbagai persoalan besar bangsa yang dihadapkan pandemi, komitmen pemerintah dalam menjalankan kerja-kerja fundamental pun diuji.

Agenda pemulihan pandemi dengan menggencarkan vaksinasi sampai dengan pengetatan disiplin protokol kesehatan, serta menggerakkan kembali roda ekonomi menjadi hal yang sepatutnya dapat berselaras.

Momentum pemilihan yang menyapa lebih awal sedikit banyak pula telah begitu berpotensi mengganggu fokus para menteri kabinet yang seharusnya lebih banyak memprioritaskan urusan dan kepentingan secara profesional.

Sejauh ini, ada beberapa nama pejabat menteri yang masuk dalam bursa pencalonan pemilihan presiden. Beberapa di antara secara terang-terangan memang menunjukkan ambisi politiknya, beberapa lagi terbilang masih belum getol menunjukkan eksistensinya.

Sebutlah nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, dan beberapa nama lagi masuk dalam deretan papan atas tokoh populer yang dinilai publik layak memimpin.

Baca Juga: Menyoal Penjabat Kepala Daerah

Stabilitas di daerah 

Selain menjaga stabilitas kinerja ditataran pemerintah daerah, momentum pemilu mendatang juga berpengaruh besar pada kondisi di daerah. Sejumlah penggantian kepala daerah yang periode jabatannya akan habis di tahun 2022 dan 2023 pun turut menjadi kalkulasi yang turut memberikan sumbangsih besar pada peta politik nasional.

Dikutip dari Kementerian Dalam Negeri, ada lebih dari 200 kepala daerah yang akan diisi oleh penjabat sementara karena kekosongan jabatan menjelang Pemilu 2024.

Tahun 2022, total 101 kepala daerah akan diisi oleh penjabat sementara. Kekosongan kepala daerah itu terdiri dari 76 bupati, 18 wali kota, dan 7 gubernur.

Di periode ini, jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi salah satu yang berakhir. Seperti yang diketahui, nama Anies Baswedan, dalam sejumlah survei politik cukup diunggulkan sebagai capres.

Masuk ke tahun setelahnya, pada periode 2023, tidak kurang dari 171 kepala daerah yang melakukan pilkada langsung 2018 juga akan mengakhiri masa kepemimpinannya.

Kekosongan jabatan kepala daerah yang harus diisi oleh penjabat kepala daerah terdiri dari 38 wali kota, 115 bupati, dan 18 gubernur. Di tahun itu, dua pemimpin lain yang juga diunggulkan dalam bursa pencalonan presiden, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sampai Ridwan Kamil akan menyudahi masa baktinya sebagai orang nomor satu di Jawa Barat.

Kekosongan pemimpin di banyak wilayah dalam menjelang pemilu membuat tak hanya mengkhawatirkan bagi stabilitas kinerja pemerintah daerah. Dengan kondisi itu, penempatan para penjabat sementara kepala daerah pun begitu rentan disisipi banyak kepentingan yang justru harus mengakomodasi kebutuhan politik tertentu.

Tak hanya persoalan potensi ketidaknetralan para penjabat kepala daerah, polemik terkait itu juga berkembang pada wacana penunjukkan pada anggota Polri maupun TNI untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah.

Menyikapi hal itu, Kementerian Dalam Negeri pun dalam keterangannya akan berkomitmen untuk tidak akan memiliki muatan politis apa pun hingga dapat mengganggu jalannya kepemerintahan daerah dalam penunjukan para penjabat gubernur, bupati maupun wali kota.

Penunjukan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan pemimpin tersebut diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Adapun pengisian kekosongan jabatan tersebut dilakukan dengan mekanisme pengangkatan yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk level gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk tingkat bupati atau wali kota.

Segala bentuk intervensi yang dibuat dalam menyongsong pemilu mendatang, sejatinya dibuat untuk tujuan memastikan berjalannya pemerintahan dengan stabil, serta mendukung setiap proses tahapan Pemilu yang tengah dipersiapan.

Semestinya kinerja pemerintah dalam mengedepankan kepentingan masyarakat tetap menjadi penting dan terjaga apik di tengah terus membesarnya euforia pemilu.

Baca Juga: Problematika Pemilu Serentak 2024

Sumber: LITBANG KOMPAS

Exit mobile version