Site icon jurnalismeinvestigatif.com

Mural: Antara Ekspresi dan Barometer Moral

Mural bernada kritik terus bermunculan di berbagai tempat dalam beberapa waktu terakhir. Di Bandung, Jawa Barat, mural dengan sosok pria mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) muncul di jembatan layang atau fly over Pasupati. Kritik, kebebasan ekspresi beda tipis dengan barometer moral masyarakat ?

Kemunculan mural ini dinilai berkaitan karena kondisi masyarakat di masa pandemi Covid-19 saat ini. Narasi mural yang disampaikan masih berkaitan dengan perasaan warga yang mengkritik situasi penanganan pandemi. Mural yang berada di Jalan Layang Pasupati Bandung misalnya. Mural berukuran sekitar dua meter ini tidak terlihat seperti gambar baru tapi sudah agak kusam.

Sosok pria berpakaian putih mirip dengan Jokowi tampak menindih lukisan lain yang sebelumnya sudah digambar lebih dulu. Pada mural tersebut, sosok pria mengenakan sebuah masker yang menutupi mata dan hidung. Namun, tangan kanan pria tersebut terlihat sedang memegang bagian kepala.

Tak jelas siapa pembuat mural tersebut. Hanya saja di bagian samping mural terdapat sebuah tulisan “Niskala’. Tulisan tersebut juga terdapat di bagian kerah sebelah kanan yang ukurannya lebih kecil.

Menurut Putri (38), seorang warga yang kerap melintas di dekat kawasan Dago Cikapayang, mural tersebut sudah cukup lama ada di tembok tersebut. Namun dia tak mengetahui kapan pastinya mural dibuat.

“Kalau saya sudah lihat beberapa hari yang lalu. Dari kemarin-kemarin juga sudah ada ini. Enggak tahu siapa yang buat,” ujarnya. Selain mural, memang banyak coretan lain seperti grafiti di tembok Jembatan Layang Pasupati. “Jadi mural bukan cuma di sisi tembok sini saja, banyak mural lainnya di tembok bagian lain,” cetus Putri.

Fenomena mencoret dinding dengan mural hingga grafiti masih meluas di berbagai wilayah meski kerap dihapus. Terakhir, di Solo muncul mural bertuliskan ‘Negaraku Minus Nurani’ dan ‘Orang Miskin dilarang Sakit’ di kawasan Stabelan, Kecamatan Banjarsari.

Jauh sebelum itu, deretan mural yang dihapus sudah mencuat sejak akhir Juli 2021 lalu. Misalnya, muncul mural bertuliskan ‘Tuhan, Aku Lapar’ di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Coretan itu menjadi viral dan langsung dihapus aparat. Kemunculan mural terus berlanjut dan melebar ke berbagai tempat baik di dalam ataupun luar Pulau Jawa.

Salah satu yang fenomenal ialah gambar orang mirip Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang bagian mata ditutupi stiker tulisan ‘404: Not Found’. Istilah itu lazim dalam dunia siber, menandakan laman yang dituju tidak bisa diakses atau tidak ada sama sekali.

Sebelumnya, di tembok salah satu rumah kosong pinggir jalan di kawasan Pasuruan, Jawa Timur, juga tergambar mural bergambar kartun yang dibubuhi dengan tulisan ‘Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit’. Lukisan itu hanya bertahan beberapa hari.

Diduga, gambar telah ada pada sekitar tanggal 25 Juli. Kemudian, menjadi viral dan langsung dihapus oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada 10 Agustus.

Gambar lain bertuliskan ‘Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan’ juga muncul di kawasan Ciledug, Tangerang. Penghapusan itu diklaim oleh petugas Kecamatan Ciledug atas permintaan warga.

Ancam Kebebasan berekspresi

Gencarnya aksi penghapusan narasi itu mendapat kritik dari sejumlah pihak. Amnesty International Indonesia menilai bahwa upaya aparat itu mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Warga, tidak dapat berpendapat kritis lantaran selalu dihapus oleh otoritas pemerintahan. Padahal, kata dia, kebebasan berpendapat itu dilindungi oleh hukum HAM Internasional dan konstitusi Indonesia.

“Tindakan kepolisian dan aparat negara lainnya yang berlebihan, termasuk mencari pembuatnya jelas mengancam hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat” kata Deputi Direktur AII, Wirya Adiwena kepada wartawan.

Tindakan aparat menghapus sejumlah mural dengan menggunakan cat dan memburu pelukisnya bukan hanya tindakan anti-demokrasi, tapi juga bisa disebut vandalisme atau perbuatan merusak karya seni.

Pendapat ini disampaikan Adhie M Massardi, analis politik dan budayawan yang karyanya Negeri Para Bedebah (2009) dikenal sebagai sajak ikon perlawanan terhadap korupsi.

Menurut Adhie, mural sudah diakui dan sudah menjadi konvensi internasional sebagai aliran seni publik.

Pada mulanya adalah Dr Atl (Gerardo Murillo Cornado), pelukis dan tokoh gerakan revolusi Meksiko yang pada 1906 mengeluarkan manifesto menyerukan pengembangan gerakan seni publik yang monumental di Meksiko. Ia menyebutnya Spanish pintura mural (wall painting).

Mengingat sifatnya sebagai “seni publik”, yaitu karya seni rupa dengan media milik publik seperti dinding, tembok-tembok di jalan umum, atau permukaan permanen lainnya, maka syarat utama mural tidak boleh merusak estetika kawasan sekitarnya.

Selain karakter dan estetika lukisan dan warna harus harmonis dengan alam sekitar, tema lukisan mural juga harus senafas dengan suasana hati masyarakat sekitarnya. Tak heran jika pelukis mural kebanyakan adalah seniman rakyat.

“Maka menjadi pelukis mural memang tidak mudah. Selain harus bisa melukis tema sederhana secara cepat agar mudah dipahami publik, moralitas dan integritas pelukis mural juga harus kuat,” kata Adhie Massardi.

Itu sebabnya selain sering menjadi bagian dari kritik sosial (masyarakat), mural di banyak negara banyak yang berubah menjadi ikon (destinasi) pariwisata. Seperti mural The History of Mexico di National Palace, Mexico City karya Diego Rivera (1929-1935), atau karya Pablo Picasso “Guernica” (1937) yang dilukis di salah satu dinding di kota Basque, Spanyol.

Menurut Adhie yang juga deklarator sekaligus ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), beberapa mural yang menjadi viral di media sosial yang kemudian dihapus aparat dan konon pelukisnya diburu polisi, secara estetika dan tema sudah sesuai dengan standar mural konvensi internasional.

“Karena jika mural tidak sesuai dengan standar moral publik, pasti usianya tidak akan lebih dari sehari, sebab akan dihapus masyarakat. Jika yang menghapus atau yang keberatan akan pesan yang disampaikan mural adalah pemerintah, maka jelas ada ketidaksinkronan antara pemerintah dan masyarakatnya,” jelas Adhie.

Makin Banyak          

Menariknya, justru setelah beberapa mural dihapus aparat dan pelukisnya diburu, lukisan mural bukannya musnah tetapi malah bertambah di banyak daerah.

Pelukis mural adalah seniman rakyat. Bila mereka sudah bergerak, artinya hati rakyat sudah bergerak. Ini sudah merupakan gerakan moral spiritual. Maka melawan mural sama juga melawan moral, bahkan moral internasional, karena mural sudah menjadi konvensi dunia. “Karena itu kalau sudah masuk dalam kategori merusak mural itu bisa disebut sebagai tindakan vandalisme.”

“Nah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, vandalisme itu adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni atau barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas,” pungkas Adhie Massardi.

Tegur Kapolri

Presiden Joko Widodo menegur Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait penghapusan sejumlah mural berisi kritik ke pemerintah. Ia mengaku tidak ingin aparat bertindak reaktif terhadap seni kritik tersebut. “Saya sudah tegur Kapolri soal ini,” kata Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, baru-baru ini.

Jokowi mengaku tak tahu menahu mengenai penangkapan dan penghapusan mural tersebut. Namun, menurut dia, tindakan represif itu merupakan inisiatif petugas di lapangan. “Kapolri mengatakan itu bukan kebijakan kita, tetapi kapolres. Dari kapolres juga menyatakan bukan kebijakan mereka, tetapi di polsek,” ujar Jokowi.

Jokowi pun meminta jajaran Polri tidak berlebihan menghapuskan mural. Apalagi, tak ada yang salah dari substansi mural. “Saya minta agar jangan terlalu berlebihan. Wong saya baca kok isi posternya. Biasa saja. Lebih dari itu saya sudah biasa dihina,” kata dia.

Kepala Negara lantas menegaskan bahwa ia tidak antikritik seperti yang kerap dituduhkan publik. Ia juga mengaku sudah kerap menjadi bahan hinaan. “Saya tidak antikritik. Sudah biasa dihina. Saya ini dibilang macam-macam, dibilang PKI, antek asing, antek aseng, planga-plongo, lip service. Itu sudah makanan sehari-hari,” kata presiden.

Sejumlah mural mirip Presiden Jokowi bermunculan di berbagai tempat. Pada pertengahan Agustus lalu muncul mural bertuliskan “404 Not Found” di daerah Batu Ceper, Kota Tangerang.

Mural itu menjadi perbincangan warganet di media sosial setelah dihapus oleh petugas kepolisian pada Kamis (12/8/2021). Tak lama, kembali muncul mural mirip Jokowi muncul di Jalan Kebagusan Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, mural tersebut hanya bertahan satu hari lantaran telah dihapus oleh empat orang berpakaian sipil.

 

Exit mobile version