Site icon jurnalismeinvestigatif.com

Pandemi Mengubah Segalanya

Sejak pandemi, tidak sedikit pelaku bisnis gulung tikar. Para pebisnis harus mencari cara mempertahankan bisnisnya. Tempo.co mencatat sebanyak 47% usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mengalami gulung tikar sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia. Solusinya ?

Jakarta – (10/09/2021). Dampak pandemi memang luar biasa. Belum lagi produk pengusaha kecil yang baru dipasarkan, tentu banyak yang ”layu sebelum berkembang”. Keadaan ini jelas saja membuat usahawan berupaya memutar otak demi mempertahankan bisnisnya. Namun, sejauh ini masih banyak pelaku usaha yang bingung menerapkan cara mempertahankan keseimbangan ekonomi bisnisnya.

Lebih ekstrem lagi, pandemi tak cuma membunuh manusia, melainkan hampir Corona tak hanya membunuh manusia. Corona, demikian Yuswohady dalam bukunya Corona Kills Everything, juga membunuh produk, bisnis, dan kebiasaan lama. Corona membunuh produk/layanan dan bisnis antara lain:

Corona, sementara itu,  juga membunuh kebiasaan dan aktivitas lama berikut:

Di masa pandemi kita dipaksa memasuki ekonomi baru yang ditandai dengan empat hal: hygiene, low-touch, less-crowd, dan low mobility. Kombinasi keempat hal tersebut menghasilkan rule of the game baru.

Siapapun harus tunduk pada rule of the game baru tersebut. Kalau tidak? Mereka akan binasa bahkan lebih fatal lagi berujung pada kematian. Celakanya banyak bisnis, industri, dan aktivitas yang by-default memang melanggar rules of the game tersebut.

Contohnya adalah industri pariwisata. By-default industri ini bersifat high-touch, high-crowd, dan high-mobile. Pertunjukan tari Kecak di Uluwatu; festival Gandrung Sewu di Banyuwangi; atau aktivitas MICE di hotel-hotel menuntut adanya kerumunan, persentuhan fisik, dan mobilitas travellers yang tinggi.

Tak heran jika pariwisata adalah industri yang paling terdampak selama pandemi. Kenapa Corona begitu tega membunuh produk, bisnis, dan industri? Semuanya bersumber dari konsumen.

Ya, karena Corona telah memaksa konsumen untuk berubah perilakunya. Perubahan perilaku konsumen inilah yang menyebabkan produk, bisnis, dan industri menjadi tidak relevan lagi value proposition, model bisnis, dan strateginya.

Inilah beberapa kasus “pembunuhan” akibat perubahan perilaku konsumen berikut:

Kasus Pembunuhan #1:

Pandemi menciptakan budaya baru yang kami sebut “stay @ home lifestyle” yang memaksa konsumen bekerja, belajar, menikmati hiburan, berobat, bahkan beribadah dari rumah. Akibat munculnya lifestyle baru ini fatal: kantor-kantor tutup, sekolah dan universitas tutup, kafe dan tempat hiburan tutup, bahkan tempat-tempat ibadah tutup.

Kasus Pembunuhan #2:      

PSBB menyebabkan konsumen tak lagi berbelanja di pasar atau supermarket. Mereka dipaksa untuk berbelanja secara online. Maka peritel fisik seperti Matahari, Ramayana, atau Giant pun menjadi korban.

Kasus Pembunuhan #3:

Pandemi mendorong konsumen mengurangi persentuhan fisik dengan orang lain. Karena itu bisnis fitness center misalnya, yang peralatannya digunakan secara berbagi (sharing), semakin dihindari konsumen. Di bisnis perbankan, konsumen juga mengurangi penggunaan uang cash dan ATM untuk bertransaksi karena takut tertular virus dari persentuhan uang kertas/logam dan tombol-tombol ATM.

Kasus Pembunuhan #4:

Pandemi juga memaksa konsumen untuk menjauhi kerumunan. Maka produk/layanan, bisnis, dan industri yang sifatnya high-crowd pun limbung karena ditinggalkan konsumen. Bisnis-binis high-crowd seperti event olahraga (Olimpiade, Piala Dunia, Formula-1, hingga Grand Slam), konser musik dan festival (Coachella, Glastonbury, DWP, hingga Java Jazz), hingga bisnis EO pernikahan bertumbangan selama pandemi.

Kasus Pembunuhan #5:

Begitu pula konsumen mengurangi mobilitas dan memangkas kegiatan perjalanan. Akibatnya bisnis transportasi pun mandek: maskapai penerbangan ditinggalkan penumpang, taksi dan ojek online tiarap, bis-bis antarkota berhenti beroperasi. Bisnis money changer di Kuta pun ikutan terdampak gara-gara turis dari seluruh dunia tak bisa masuk ke Bali.

Kasus-kasus pembunuhan produk, bisnis, dan kebiasaan lama oleh Corona di atas bisa direntang lebih panjang lagi. Corona tak hanya membuhuh manusia, tapi juga produk, bisnis, dan kebiasaan lama. Corona Kills Everything.

Lantas, bagaimana cara yang tepat untuk mempertahankan bisnis selama pandemi? Ini dia beberapa ihtiar yang bisa dilakukan:

  1. Buat Produk yang Relevan

Cara pertama untuk mempertahankan bisnis selama pandemi adalah dengan menggeser fokus, lalu beralih membuat produk yang relevan. Seperti pemilik bisnis fashion bisa memutar otak memproduksi masker.

Dengan demikian potensi penjualan jauh lebih besar dibandingkan tetap mengandalkan bisnis fashion. Pasalnya, selama pandemi, masker jauh lebih dibutuhkan dibanding pakaian.

  1. Lakukan Promosi

Melakukan promosi merupakan cara berikutnya yang bisa diterapkan oleh pelaku bisnis. Kiat ini dilakukan untuk menarik minat pembeli. Misalnya, promosi free ongkir untuk area tertentu atau memberikan gift card kepada pembeli di hari khusus.

  1. Manfaatkan Teknologi

Demi mencegah penyebaran virus, maka pebisnis harus bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini. Contohnya, melakukan promosi di berbagai media sosial. Jangan lupa untuk menyertakan gambar dan deskripsi produk semenarik mungkin. Selain ketiga cara di atas, para pebisnis juga harus memaksimalkan layanan online, seperti misalnya delivery order atau pembayaran non tunai. Selain itu, bisa juga memunculkan sentimen positif dengan cara turut berdonasi di tengah situasi sulit pandemi.***

Exit mobile version