Site icon jurnalismeinvestigatif.com

Makin Berat Terbang Didera Pandemi

Metamorfosa menjadi Super Apps.

Lebih dari setahun pandemi berlangsung, maskapai penerbangan domestik, seperti Garuda Indonesia dan AirAsia menghadapi tekanan yang semakin sulit. Setelah membukukan laporan keuangan minus pada akhir 2020, kondisi bisnis maskapai pada paruh pertama awal 2021 belum juga menunjukkan sinyal positif.

Jakarta – 19/08/2021. Flag carrier andalan nasional, Garuda Indonesia ini yang sempat optimistis pada akhir tahun lalu harus kembali menelan pil pahit. Pada kuartal I 2021, napas maskapai penerbangan pelat merah tersengal-sengal karena beban yang ditanggung untuk membayar ongkos operasional pesawat per bulan jauh lebih besar ketimbang pendapatannya.

Dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR 3 Juni lalu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan biaya operasi atau cost yang harus dikeluarkan setiap bulan oleh Garuda mencapai US$ 150 juta.

Sedangkan total pendapatan emiten berkode saham GIAA itu hanya sebesar US$ 50 juta saat ini. Kondisi tersebut menandakan bahwa Garuda merugi US$ 100 juta setiap bulan. Situasi sulit ini membawa Garuda pada jerat utang yang semakin menumpuk. Terakhir, total utang Garuda mencapai US$ 4,5 miliar atau Rp 70 triliun. “Kalau kita melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang yang US$ 4,5 miliar dolar ini harus menurun di kisaran US$ 1-1,5 miliar,” tutur Kartika alias Tiko.

Penurunan kinerja sejumlah maskapai tak hanya bersumber dari menurunnya jumlah penumpang domestik. Berkurangnya pendapatan juga diperparah oleh berhentinya hampir seluruh operasional penerbangan reguler yang mengangkut penumpang ke luar negeri.

Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat, sepanjang Januari hingga Desember 2020, jumlah penumpang pesawat rute mancanegara, baik menggunakan penerbangan nasional maupun asing, turun 80,61 persen. Total penumpang internasional hanya mencapai 3,7 juta orang selama satu tahun. Bagaimana kondisi terkini maskapai-maskapai besar yang membuka layanan penerbangan reguler di Indonesia?

Garuda Indonesia

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menggambarkan pandemi memberikan pukulan sangat berat bagi perusahaannya. Jumlah penumpang bahkan pernah menurun sampai 90 persen.

“Pandemi ini memang hit-nya gila-gilaan. Kita pernah drop sampai 90 persen,” ujar Irfan.Rata-rata penumpang maskapai ekor biru itu juga hanya 60 persen selama setahun. Pergerakan penumpang masih ditopang pada dua bulan pertama 2020 saat pandemi Covid-19 belum masuk ke Indonesia.

Nasib maskapai penerbangan swasta, AirAsia Indonesia, tak jauh beda. Sama-sama babak belur, pada 31 Desember, emiten berkode saham CMPP itu membukukan kerugian usaha sebesar Rp 2,8 triliun atau berbanding terbalik dari 2019 yang mencatatkan laba Rp 113,94 juta.

AirAsia

Kinerja keuangan AirAsia jeblok sepanjang 2020. AirAsia mengalami penurunan pendapatan sebesar 75,99 persen secara year on year. Jika pendapatan maskapai pada 2019 mencapai Rp 6,7 triliun; sepanjang tahun lalu perusahaan hanya mampu mengantongi Rp 1,61 triliun.

Sementara itu, emiten berkode CMPP tersebut tetap memiliki beban pengeluaran tinggi hingga Rp 4,41 triliun. AirAsia pun mencatatkan kerugian usaha sebesar Rp 2,8 triliun sepanjang 2020 atau berbanding terbalik dari 2019 yang mencatatkan laba Rp 113,94 juta.

Direktur Utama PT AirAsia Indonesia Tbk Dendy Kurniawan mengatakan, untuk meringankan tekanan di tengah sulitnya likuiditas, perusahaan mengurangi dampak pandemi dengan melakukan pengendalian biaya secara menyeluruh. Perusahaan melakukan promosi, juga memaksimalkan operasi jumlah pesawat sebanyak 20 unit menjelang akhir tahun.

Di samping itu, perusahaan melakukan restrukturisasi pembayaran kewajiban dengan melakukan renegosiasi dengan lessor, kreditor, dan vendor seperti yang dilakukan maskapai-maskapai lain. Selanjutnya, perusahaan menunda pengiriman pesawat, menangguhkan pengeluaran modal, mengurangi pengeluaran pemasaran, dan menunda pengeluaran diskresioner, termasuk acara sosial. Dengan berbagai upaya ini, AirAsia menurunkan total biaya operasional sebesar 34 persen pada 2020.

Seperti maskapai lainnya, AirAsia juga menggenjot peluang bisnis non-penumpang reguler, seperti dari layanan kargo dan carter. “Kami meningkatkan permintaan dengan dukungan aplikasi super digital AirAsia dan kolaborasi dengan para mitra, serta memperluas koneksi domestik,” tutur  Dendy.

“Rute” berbeda

Hampir semua maskapai penerbangan di Indonesia ini terkena krisis. Menurut Founder Inventure, Yuswohady, Garuda Indonesia dan Air Asia ini sama-sama menderita. “Mereka terhempas oleh TRIPLE DISRUPTION (digital + millennial + pandemic disruption) yang sama, tapi keduanya memiliki “rute” yg berbeda,” ucapnya.

Pertama adalah Garuda Indonesia yang kini mengalami kesulitan keuangan bahkan di ambang kebangkrutan karena beban utang yang menghimpit dan beban operasi berat karena anjlognya permintaan.

Kedua adalah AirAsia yang begitu cepat mengubah model operasi, melakukan transformasi digital dan meredefinisi bisnisnya untuk bisa lolos dari terjangan badai disrupsi.

Yang pertama adalalah “si gajah” yang kini tak bisa lagi menari karena terbeban utang, overhead dan benalu birokrasi. Yang kedua adalah “si kancil” yang cerdik dan lincah memanfaatkan chaos sbg momentum utk melakukan lompatan kuantum.

Dua kisah ini masih menurut Yuswohady yang akrab dipanggil Siwo, menyadarkan kita bahwa In the era of chaos, AGILITY is your most valuable asset. AGILITY adalahl kecepatan, kelincahan, dan kecermatan perusahaan dalam merespon setiap perubahan yang terjadi di pasar.

Di masa normal memang aset fisik (gedung, pabrik, alat produksi, dan lai-lain), aset finansial (ekuitas, utang), aset brand (nama besar, reputasi) memang menjadi penentu kemenangan.

Namun di masa chaos, hanya AGILITY yang menjadi penentu SURVIVAL. Mengacu teori Darwin, TRIPLE DISRUPTION adalah layaknya “seleksi alam” yang kini masif terjadi dimana hanya mereka yang tangguh bakal bertahan (“survival of the fittest”).

Dan dari dua kisah di atas kita sadar bahwa bukan mereka yang KUAT, BESAR, KAYA, dab berlimpah sumber daya yang bakal survive. Tapi mereka yang CEPAT, LINCAH, dan CERMAT. “Sekali lagi: AGILITY is your most valuable asset,” Tegas Siwo.

 

Exit mobile version