Itu salah satu bunyi spanduk yang menyindir bahwa disaat penanganan pandemi belum tuntas, malah beberapa pihak terutama partai besar seperti PDIP, Golkar, Demokrat yang sudah melakukan kampanye terselubung menuju Pilpres 2024. Apa kata pakar politik ? Apakah Polri bisa melakukan penertiban ?
Jakarta – (13/08/2021). Beberapa minggu terakhir, arena media sosial Indonesia ramai dengan sindiran dan lelucon soal baliho tokoh politik. Ismail Fahmi, pendiri perusahaan konsultasi big data Drone Emprit, bahkan melaporkan bahwa popularitas beberapa tokoh politik meningkat karena menjadi bahan sindiran dan meme para pengguna media sosial yang sebagian besar berusia muda.
Drone Emprit melakukan monitoring terkait pemasangan baliho Ketua DPR RI Puan Maharani di sejumlah daerah. Sebab pemasangan baliho itu mendapat perhatian khusus di media sosial.
Dalam hal ini, Drone Emprit monitoring terhadap segala percakapan pemasangan baliho Puan di platform online berdasarkan big data. Hasil analisa periode 7 Juli hingga 7 Agustus 2021, dari sejumlah tokoh politik yang memasang baliho, hanya Puan yang popularitas atau eksposurnya (share of voices) di berita online dan Twitter bertengger di urutan empat besar.
Eksposur masing-masing tokoh di berita online dan Twitter mulai dari yang teratas yakni Anies baswedan (43 persen berita online-50 persen Twitter), Ganjar Pranowo (25 persen-27 pesen), Ridwan Kamil (19 persen-12 persen) dan Puan Maharani (13 persen-12 persen).
“Anies paling banyak diserang di medsos, popularitasnya selalu tertinggi. Puan juga makin populer, lewat baliho yang banyak disindir dan jadi meme netizen,” kata Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, lewat akun Twitternya, @ismailfahmi, Minggu (8/8).
Fahmi menambahkan, tren popularitas Puan dalam sebulan terakhir bahkan hampir mengejar tren Ganjar. Menurutnya, popularitas merupakan gabungan percakapan yang bernada positif, negatif dan netral. “Tak peduli sentimennya apa,” ucap dia.
Fahmi menuturkan, dari popularitas ini nantinya akan memicu naiknya favorabilitasnya baik itu sentimen positif dan negatif. Dua hal itu kemudian dikapitalisasi menjadi elektabilitas.
“Teorinya begitu. Kenyataan di lapangan bisa bermacam-macam faktor yang berpengaruh,” ujar Fahmi.
Efek “Oh”
Sementara Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi, mengatakan pemasangan baliho atau billboard tokoh politik ini memberikan ‘efek oh’ dalam pengenalan awal seorang tokoh politik.
“Efek oh itu maksudnya oh ada menteri namanya ini, oh ternyata ada ketua DPR yang namanya ini,” kata Hasan. “‘Efek oh’ diperlukan sebagai awal, pengenalan, sisanya dia harus lengkapi,” imbuhnya.
Lebih lanjut Hasan, mengatakan elektabilitas tidak mungkin diraih tanpa ada pengenalan. Menurutnya, teknik konvensional melalui pemasangan baliho bisa menjadi pembuka untuk pengenalan sebelum dilanjutkan dengan teknik lain yang lebih canggih.
Pengamat politik Dedi Kurnia menilai, Baliho sejumlah politisi yang tersebar di seluruh indonesia bertujuan meningkatkan popularitas mereka, terutama bagi mereka yang tak memiliki akses ke Media Sosial. “Baliho tersebut efektif mengenalkan politisi bagi masyarakat yang tidak punya akses internet.” Jelas Dedi.
Sementara itu, menurut pengamat Politik Reza Hariadi, banyaknya baliho yang tersebar juga dinilai sebagai kampanye terselubung. Jika dibiarkan maka bisa meningkatkan suhu politik di Indonesia. Dan lebih jauh akan berdampak pada penanganan pandemi akan terganggu dengan persaingan politisi jauh sebelum pemilu. “Baliho bisa memicu kampanye lain dengan skala lebih besar, partai akan dinilai tidak memiliki empati kepada masyarakat saat pandemi.” Jelasnya.
Elektabilitas
Survei yang dilakukan oleh New Indonesia Research & Consulting mengungkapkan elektabilitas Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungguli Puan Maharani dan Airlangga Hartarto.
“Di tengah perang baliho politisi, elektabilitas Puan Maharani dan Airlangga masih jauh tertinggal, justru AHY yang paling berkibar,” kata Direktur Eksekutif New Indonesia Research & Consulting Andreas Nuryono yang dikutip antara.
Hasil survei New Indonesia Research & Consulting menunjukkan ada peningkatan elektabilitas tiga politisi tersebut, tetapi kenaikan signifikan paling banyak dialami oleh Ketua Umum Demokrat AHY.
Tren kenaikan elektabilitas AHY diketahui sejak survei dilakukan pada Mei 2021. Awalnya, elektabilitas anak sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut hanya sekitar dua persen. Namun, angka itu naik menjadi lima persen.
Sedangkan Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI naik sedikit dari 1,1 persen menjadi 1,4 persen, demikian pula dengan Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar dengan elektabilitas 1,3 persen.
Preferensi anak muda
Saat ini, lebih dari setengah populasi Indonesia terdiri dari Milenial (24-39 tahun) dan Gen Z (6-23 tahun). Jumlah pemilih berusia kurang dari 40 tahun diprediksi berjumlah 60% pada pemilihan umum (pemilu) 2024.
The conversation sempat menurunkan tulisan soal preferensi anak muda pada pemilu 2024 dan karakter pemilih muda Indonesia. Ada juga podcast tentang hubungan antara politikus dan anak muda di Indonesia.
Saat ini, lebih dari setengah populasi Indonesia terdiri dari Milenial (24-39 tahun) dan Gen Z (6-23 tahun). Jumlah pemilih berusia kurang dari 40 tahun pada Pemilu 2019 diperkirakan sekitar 30%-40%, dan angkanya pun diprediksi meningkat menjadi 60% pada pemilihan umum (pemilu) 2024.
Survey dari Indikator Politik akhir Maret lalu yang berbicara dengan sekitar 1.200 anak muda dari seluruh Indonesia mungkin memberikan sedikit gambaran terkait preferensi politik kelompok tersebut.
Survei tersebut mengungkap beberapa nama figur pemimpin yang muncul terdepan seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sedangkan Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan dua partai pilihan teratas.
Bukan Prabowo
Dari segi calon presiden, nama yang muncul teratas dalam survei anak muda Indikator Politik adalah pemimpin daerah yang cenderung muda seperti Anies Baswedan (15,2%) dan Ganjar Pranowo (13,7%).
Sementara itu, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto justru terpaut di posisi ke-5 dengan 9,5% – meskipun partai yang teratas dalam survei ini adalah partainya. Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat (AS), Indonesia memang memiliki sistem dan budaya politik yang mementingkan figur di atas ideologi atau tawaran kebijakan partai.
Peneliti gerakan politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Muhammad Fajar, mengindikasikan bahwa pengutamaan figur di atas partai bisa jadi lebih terlihat pada kelompok anak muda ketimbang masyarakat secara umum.
Dalam beberapa survei nasional yang melihat masyarakat secara umum, misalnya, elektabilitas Prabowo masih salah satu yang tertinggi, bersaing ketat dengan Ganjar dan Anies.
Riset tahun 2018 dari peneliti politik Dirk Tomsa dari La Trobe University, Australia dan Charlotte Setijadi dari Singapore Management University menunjukkan hal tersebut bisa jadi karena gencarnya aktivisme politik berbasis figur yang diinisiasi anak muda Indonesia dalam satu dekade terakhir.
“Mereka mengambil titik berangkatnya dari [Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012] waktu Jokowi Ahok, mulai muncul organisasi relawan yang beberapa diinisiasi anak muda. Sepertinya ada semacam bentuk gerakan anak muda baru yang lebih menginduk ke figur dibanding parpol,” kata Fajar.
“Gerakan-gerakan ini justru mengambil alih fungsi-fungsi partai politik seperti mobilisasi massa dan mobilisasi dana.” “Mungkin argumen itu bisa menjelaskan mengapa Prabowo yang menjadi pimpinan partai Gerindra justru tidak sepopuler Anies,” ungkapnya.
Selain itu, Fajar mengatakan bahwa kebosanan terhadap figur politik lama juga bisa menjadi alasan kenapa anak muda tidak terlalu antusias lagi dengan Prabowo – sehingga kini mementingkan calon yang memiliki rekam jejak yang baik di atas ketenaran.
“Kalau kita jujur, Prabowo berada di arena politik sejak tahun berapa, nyalon jadi wakil presiden dan presiden sudah dalam tiga pemilu terakhir,” katanya. “Mungkin beberapa orang memperhatikan soal rekam jejak. Anies punya program semacam Gerakan Indonesia Mengajar, mungkin itu hal yang bisa dilihat ‘positif’ untuk anak muda.”
Imbas ketidakpuasan
Dalam survei Indikator Politik, dua pilihan partai teratas anak muda adalah Partai Gerindra (16%) dan PDIP (14.2%), disusul cukup jauh oleh Partai Golongan Karya (Golkar) (5.7%) – meskipun sebanyak 43.8% responden menolak untuk menjawab.
Terlepas dari tingginya jumlah yang abstain, peneliti politik pemilu di Binus University di Tangerang Selatan, Ella Prihatini mengatakan bahwa hasil ini bisa jadi mencerminkan ketidakpuasan anak muda terhadap kinerja pemerintah dalam merawat kualitas demokrasi.
Pada survei yang sama, misalnya, sebanyak 40% kelompok anak muda merasa bahwa dalam beberapa tahun terakhir Indonesia menjadi kurang demokratis. Angka ketidakpuasan ini lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni 27,8%.
“Secara matematis, misal kenapa nggak Golkar, karena terkenal buruknya sebagai partai Orde Baru … Partai Demokrat masih ada masalah internal dan tidak terlalu baik manajemennya terhadap itu,” ujar Ella.
Ella juga menambahkan beberapa masalah dengan partai-partai lainnya. “Partai Nasdem [Nasional Demokrat] juga sangat terafiliasi dengan pemerintah sekarang, jelas, PKB [Partai Kebangkitan Bangsa] sama saja. Partai yang jelas berafiliasi dari awal Pemilu 2019 akan ‘sama-sama dihukum’ karena membuat Indonesia kurang demokratis,” katanya.
“Sementara, PKS [Partai Keadilan Sosial] punya basis [tokoh yang] sangat [fokus pada] kader [internal mereka sendiri], bisa jadi anak muda Indonesia kurang berminat untuk mendukung. Jadi itu kenapa akhirnya Gerindra jadi salah satu yang berpeluang didukung.”
Kebebasan sipil menjadi sorotan
Terkait isu sosial-politik bagi anak muda, survei Indikator Politik menunjukkan adanya polarisasi di beberapa aspek. Anak muda terbelah cukup merata saat ditanya apakah keberatan apabila seorang non-Muslim terpilih menjadi kepala daerah atau presiden, sekitar 30% untuk masing-masing ‘ya’ dan ‘tidak’.
Sebaliknya, hanya 16,4% anak muda Muslim yang keberatan apabila orang non-Muslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggal mereka – jauh lebih rendah daripada angka nasional yang mencapai 52%.
“Mungkin bisa dilihat bahwa memang kita nggak punya gambaran yang utuh tentang kelompok anak muda sih. Mungkin itu mewakili dua preferensi anak muda yang berbeda kelompok aja, sesuai pembelahan politik yang cukup tajam beberapa tahun belakangan ini,” kata Fajar.
Namun, secara umum, Fajar melihat adanya peningkatan perhatian yang cukup tinggi pada isu-isu seputar hak sipil – dari kebebasan berpendapat hingga isu gender – terutama sejak Reformasi 1998.
“Terutama kalau kita melihat demonstrasi 2019 yang menentang RKUHP [Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana] kan isunya lebih ke hak sipil, walaupun ada isu ikutan termasuk ekonomi, tapi itu sepertinya isu-isu yang mungkin di awal ‘98 belum terlalu ke arah sana,” katanya.
“Juga ada misalnya dukungan terhadap RUU PKS [Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual] terkait kesetaraan gender dan kesetaraan antar minoritas, lalu rasisme. Itu kayaknya isu-isu yang di awal setelah reformasi nggak kebayang ada. Itu perkembangan yang cukup signifikan.”
Mayoritas anak muda yang disurvei (57,3%), misalnya, mendukung revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjamin masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya. “Ada dorongan sangat kuat untuk pemerintah melakukan perbaikan atau revisi untuk menjamin masyarakat bebas berpendapat – 60%, ini sangat serius,” ujar Ella.
“Kalau mau mengembalikan tingkat kepercayaan dan partisipasi dan kepercayaan politik dari semua lapis masyarakat, maka perbaikilah ini.”
Kekuatan politik atau sekadar demografi?
Meskipun figur yang muncul dalam survei-survei di atas banyak merupakan tokoh politik muda, Fajar mengingatkan hal tersebut tidak menjamin dibawanya agenda anak muda saat mereka menjabat.
“Yang perlu didorong lebih jauh adalah debat bahwa apakah figur misal Anies atau Sandi [Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno], atau tokoh yang dianggap lebih muda, apakah mereka akan mewakili aspirasi atau kepentingan anak muda?” katanya. Hadirnnya pemimpin muda dalam posisi penting di pemerintahan belum tentu menjamin diutamakannya agenda anak muda.
Riset tahun 2020 dari University of Melbourne di Australia, misalnya, mengungkap bahwa selama ini pemerintah Indonesia hanya fokus menuntut anak muda untuk sukses tanpa mempertimbangkan kesenjangan yang ada dalam kelompok tersebut dan mengabaikan kebutuhan mereka secara ekonomi, sosial, dan poltik.
Menurut Fajar, sebelum kelompok anak muda benar-benar memiliki kekuatan politik formal yang besar untuk mendorong sebuah agenda dalam pemerintahan, mereka hanyalah sekelompok orang dengan usia tertentu yang menjadi target strategi dan kebijakan politik sama seperti kelompok perempuan atau buruh.
“Diskursus atau citra yang dibangun bahwa anak muda punya peran sebagai agen perubahan dan lain-lain, saya cuma melihat itu hanya cara elit untuk memikat anak muda sebagai pemilih,” kata Fajar.
Menurut Ella, masalah ini penting untuk segera diatasi untuk mencegah anak muda menjadi apatis dalam berpolitik pada berbagai pemilu berikutnya. “Orang yang apatis akan cenderung nggak nyoblos, nggak akan nyari tahu atau terlibat diskusi. Jangan sampai generasi penerus kita apatis sama politik, karena gimana kita nanti ke depannya?”
Bisakah Ditindak Aparat ?
Mencermati kejadian dan pemasangan baliho di berbagai pelosok negeri ini kini timbul pertanyaan: bolehkah hal itu dilakukan ? Bukankah pemilu masih lama ? Apakah ini termasuk kampanye terselubung ?
Boleh jadi ini baru dimulai dalam bentuk pengenalan tokoh. Survey-survey pun dilakukan oleh lembaga independen dan bukan dari lembaga atau partai politik. Dengan demikian sulit dikategorikan sebagai kampanye terselubung atau bahkan black campaign.
Mengenai kampanye terselubung, pada tahun 2018 lalu, Tito Karnavian yang saat itu menjabat sebagai Kapolri, melarang adanya kampanye terselubung.
“Black campaign (kampanye terselubung) ialah kampanye tentang sesuatu yang tidak terjadi pada lawan politik yang kemudian disebarluaskan. Itu termasuk ke dalam undang-undang ITE, fitnah dan pencemaran nama baik,” terang Tito.
Tito menegaskan jika kampanye terselubung itu tetap dilakukan, maka Polri akan bertindak. “Polri ingin mengajak masyarakat untuk menciptakan demokrasi yang sehat dengan menggunakan kampanye positif,” kata dia. Tito juga menegaskan, ada lima hal yang wajib ditaati oleh masyarakat dalam kampanye nanti, yakni menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Lima hal itu terdapat pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Apabila melanggar, sanksinya akan dibubarkan. Pembubaran ada di Pasal 15,” tutur Tito.
Melihat dari aktivitas pemasangan Baliho baru-baru ini, memang jelas tidak termasuk black campaign karena dilakukan dengan sadar oleh partai pengusungnya dan tidak mendiskreditkan pihak mana pun.
Sampai di sini bisa kita pahami tidak ada delik atau kesalahan yang dilakukan para pemasang baliho. Bantahan pun segera dilakukan oleh politisi. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDI Perjuangan Bambang Wuryanto atau akrab disapa Bambang Pacul membantah pemasangan baliho bergambar Puan Maharani untuk kampanye Pemilu 2024.
“Ada enggak bentuk kampanye di situ? Kami tidak menyebutkan soal 2024,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, pemasangan baliho tersebut sebagai bentuk kebanggaan bahwa Puan merupakan perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR. “Dari 23 Ketua DPR baru kali ini, ini satu-satunya wanita. Kami bangga lah. Ini harus dilaksanakan sungguh-sungguh, serentak,” kata Ketua DPD PDIP Jawa Tengah tersebut.
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Utut Adianto juga mengatakan pemasangan baliho tidak dalam rangka kampanye sebagai calon presiden. Sebab, keputusan ada di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. “Kalau kampanye untuk beliau jadi presiden kan salah makan obat. Hak itu ada di ketua umum. Ibu nanti yang pilih,” ujar Utut.
Menuju Pilpres 2024
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin menilai baliho-baliho itu sengaja dipasang sebagai bagian dari sosialisasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh partai. Tujuannya, meningkatkan popularitas dan elektabilitas mereka menuju Pemilihan Presiden (Pilpres 2024).
“Kenapa mereka curi start kampanye? Karena elektabilitas mereka masih rendah dan belum kelihatan. Makanya di gas pol melalui baliho,” ujar Ujang.
Ujang menyebut, memasang baliho memang tidak dilarang, tapi waktunya saat ini tidak tepat karena masyarakat sedang susah akibat pandemi Covid-19. “Jika waktunya tidak pas, maka pemasangan baliho itu hanya akan mendapat nyinyiran publik, olok-olok rakyat, karena dianggap tak sensitif atas penderitaan rakyat,” tuturnya.
Menurut Ujang, semestinya pemasangan baliho tersebut dihentikan dulu. “Dana untuk pasang baliho lebih baik digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19. Bantu rakyat dulu, baru sosialisasi. Rakyat mesti diprioritaskan dibandingkan dengan pemasangan baliho,” ujarnya.
Selain PDIP, sejumlah partai menampik bahwa pemasangan baliho tersebut dalam rangka ancang-ancang menuju Pilpres 2024. PKB misalnya, menyebut poster dan baliho bertuliskan “Padamu Negeri Kami Berbakti” dan “Gus Muhaimin 2024” dalam rangka memeriahkan ulang tahun PKB ke-23 pada 23 Juli lalu.
“Dalam rangka harlah PKB ke-23 kemarin. Kalau pun ada pengaruh (terhadap elektabilitas), ya, itu bonus aja,” kata Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Ahmad Iman Syukri.
Senada dengan Syukri, Politikus Partai Golkar Eka Wardhana juga menyebut angka 2024 yang disematkan di baliho Airlangga juga bukan untuk berkampanye menuju Pemilu 2024. Ia berkelit bahwa baliho itu hanya bertujuan memotivasi legislator untuk memaksimalkan waktu yang ada selama terpilih.
“Artinya, kita kan terpilih dan akan menjabat sampai 2024. Nah, ini kan sudah tinggal sebentar lagi, makanya kita kasih semangat rekan-rekan untuk memaksimalkan masa jabatan. Adapun nanti dipilih lagi atau tidak, biarkan rakyat menentukan. Terpenting saat ini, kita kerja mengabdi dan melayani masyarakat,” kata Wakil Ketua lll DPRD Kota Bogor itu soal baliho Airlangga. Ya begitulah, politisi selalu memiliki cara untuk mengelak. (Saf).