Jakarta –
Pihak Kantor Staf Presiden (KSP) menilai perlu pendalaman lebih jauh untuk memperbaiki iklim demokrasi Indonesia. Hal ini didasarkan pada rilis Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Persepsi Korupsi Transparency International (TI) dan polemik UU ITE yang mencuat belakangan ini.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan fenomena ini perlu dibaca secara utuh. Dia menegaskan mengenai komitmen Presiden dalam menjaga kebebasan berpendapat.
“Presiden berkomitmen kuat merawat demokrasi, menjaga kebebasan berpendapat dan melakukan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, adanya rilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan polemik UU ITE ini hendaknya tidak semata-mata dibaca sebagai angka dan penurunan/peningkatan semata, tetapi perlu dipahami secara kontekstual agar bisa dilakukan evaluasi secara menyeluruh sehingga kebijakan dan tata kelola Pemerintah ke depan menjadi lebih baik,” kata Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi terbatas antara jajaran KSP, Staf Khusus Presiden dan Kemenko Polhukam seperti dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (5/3/2021).
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Bidang Politik Kedeputian V KSP Sigit Pamungkas berbicara mengenai pentingnya waktu siklus publikasi Demokrasi IDI yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Data ini disebut bisa menjadi pembanding dari indeks yang dikeluarkan lembaga internasional.
Sigit menuturkan Indeks Demokrasi Indonesia bisa menangkap fenomena domestik pada level mikro. Fenomena ini disebut Sigit biasanya luput ditangkap oleh lembaga internasional.
Sigit menjelaskan, IDI memiliki keandalan menangkap fenomena domestik pada level mikro yang luput ditangkap oleh lembaga internasional – sehingga mampu menjelaskan dinamika demokrasi Indonesia secara lebih akurat.
Dalam kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Utama Bidang Antikorupsi dan Reformasi Birokasi, Rumadh Ahmad, mengatakan di masa pandemi ini, lebih dari 120 dari 180 negara yang dinilai, memiliki skor IPK di bawah 50. Sebagian besar disebut mengalami penurunan skor dibanding dari tahun sebelumya.
Menurut Rumadi, sektor ekonomi, investasi, kemudahan berusaha, dan layanan publik memiliki kontribusi besar dalam membentuk performa IPK saat ini. Karena itu, implementasi UU Cipta Kerja diharapkan dapat menjadi terobosan dalam perbaikan IPK Indonesia ke depan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Tenaga Ahli Utama KSP bidang hukum, Ade Irfan Pulungan. Irfan mengatakan tujuan UU ITE adalah menciptakan ruang siber yang sehat dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dalam perjalanannya, kata Irfan, UU ITE mengalami sejumlah dinamika mulai dari persoalan kriminalisasi, penegakan hukum dan sebagainya. Untuk mengatasi dinamika tersebut, maka dibuatlah pedoman interpretasi resmi pasal-pasal UU ITE yang kemudian telah diwujudkan melalui penyusunan panduan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Surat Edaran panduan dan polisi virtual oleh Polri, dan tim kajian oleh Kemenko Polhukam.
Dalam jangka panjang, sambung Irfan, pemerintah secara hati-hati mempertimbangkan kemungkinan revisi UU ITE. Revisi ini bertujuan untuk menyempurnakan UU ITE agar memberikan rasa keadilan bagi semua masyarakat.
Simak juga video ‘Cari Masukan, Tim Pengkaji Akan Undang Pelapor dan Terlapor Kasus ITE’:
(knv/fjp)